Rabu, 12 Oktober 2016

Maidah 51, Syiah & Ahok

MAIDAH 51 & SYIAH
Setelah akhirnya beberapa hari ini memfokuskan telaah kitabnya di #Maidah_51 plus melihat perkembangan para Insan Cendikia, ada satu keganjalan.

Poin utama pembahasan belakangan ini adalah tafsir kata "Auliya" atau "Wali" di surah Al-Maidah.

Sebelum Bapak Ahok bermasalah dengan kelancangannya  menafsirkan lalu menyalahkan penafsiran beberapa Ulama, sebenarnya, konflik tafsir kata "wali" ini sudah berlangsung sengit dan sejak lama antara AHLUSSUNNAH & SYIAH [yang hari ini memperingati Kesyahidan Imam Husein yang merupakan "wali" bagi mereka].

IMAM ALI BIN ABI THALIB ADALAH WALI ORANG BERIMAN.
Kalau titik pembahasan Ahok adalah Maidah 51, maka dalam memperdebatkan tafsiran "Wali" , Syiah berangkat dari suatu hadits Shahih;

"Man kuntu Maulahu fa Aliyun Maulah"

Ya. Ali adalah Maula untuk setiap orang yang menjadikan Rasul Maula-nya.

Menurut Syiah, Maula disini bermakna Wali yang menunjukkan Pemimpin.

Sedang menurut Ahlussunnah, Maula dan Wali disini tidak HANYA berarti Pemimpin, tapi juga kekasih, penolong, pelindung dll.

Dan SUBHANALLAH.. Di Fenomena Ahok yang lancang menafsirkan Maidah 51 ini, terlihat keganjalan bagi yang sudah biasa mendiskusikan masalah ini dengan Syiah.

Mayoritas #Ahlussunnah justru disini lebih menekankan makna pemimpin. Walau dengan apik, Azatidz berilmu sudah menjelaskan bahwa memang Wali mengandung makna pemimpin, TAPI juga makna lainnya.

Sedangkan #Syiah yang sebenarnya bisa membalikkan pernyataan Sunni yang melawan Ahok, bahwa mengapa di masalah ahok, "wali" jadi makna pemimpin, sedang di Imam Ali maknanya jadi penolong, kekasih dll.
Tapi para kebanyakan Syiah tidak ada yang menyinggung isu tafsir ke"wali"an ini?? Ajieb. Demi Ahok kah...?  :)

FIQIH POLITIK DAN POLITIK PRAKTIS
Ahlussunnah punya Jawaban sebenarnya, bahwa "wali" mencakup makna luas. Simpelnya begini.

Kasus 1
A : Wahai B jadikanlah C sebagai Wali!
[Karena maknanya luas, maka B menjadikan C sebagai teman karib sudah memenuhi perintah. B menjadikan C sebagai sekutu pelindung maka sudah memenuhi perintah. Menjadikannya pemimpin juga memenuhi perintah, tapi itu pilihan]

Kasus 2
A : Wahai B JANGAN jadikan C sebagai wali [maka larangannya mencakupi semua makna]

Kasus 3
A : Wahai B masuklah kelas ! Dan kamu C jangan masuk kelas!
[B memilih duduk di satu sudut atau satu kursi atau dekat pintu, maka dia sudah patuhi perintah A]
[C dia tidak punya pilihan, dia tidak boleh ada di satupun sudut, sisi, atau kursi dalam kelas]

Ini menurut Ahlusunnah bahwa makna Wali itu beragam, dan Nabi tidak memaksudkan satu makna saja, sebagaimana dipahami Sahabat Nabi saw. Maka Ahlussunnah menjadikan Abu Bakar khalifah pertama dan Ali keempat tak menyalahi perintah. Pun ketika Ahlussunnah memakai larangan wali tuk kafir dalam melawan Ahok juga adalah dalam rangka Nahi Munkar yang dilarang.

Tapi Syiah??? Kenapa tak melawan Ahok dengan kalimat "wali" yang kalian yakini.... :)

Jumat, 07 Oktober 2016

BUBARKAN SAJA NKRI...!


Menjunjung Nilai atau Materi.

Negara kita wujud di atas landasan Nilai yang dijunjung bersama. Andai dibangun di atas materi semata, maka yakin, Belanda & Jepang lebih punya Materi dunia tuk dia tawarkan dibanding para Pahlawan kita.

Pahlawan kita memperjuangkan Nilai. Nilai kemerdekaan, nilai kebhinekaan. Ini yang menyatukan kita dalam satu negara.

KETIKA MATERI SUDAH LEBIH BERHARGA.
Namun hari ini, masyarakat Jakarta atau Indonesia umumnya, lebih melihat kemajuan Negara ini dengan tola ukur Materi. Parahnya, hingga membuat masyarakat, ketika nilai yang dijunjung Negara dicoreng, mereka tetap saja menyanjung pencoreng ini karena tawaran Materinya.

KEBHINEKAAN KITA.
Seorang jawa tidak bisa mengurusi Masalah adat Bugis. Dia tidak perlu bagi-bagi puluhan juta ke Anak Mudanya untuk jadi "Uang Panai". Karena tradisi itu bagi orang bugis punya makna. Keseriusan. Kesiapan. Dan lain-lain yang tidak dipahami pemberi.

Apa lantas seorang Jawa punya Hak komentar bahwa "pemuda bugis dibohongi" pake adat tradisi. Tidak bisa. Inilah kebhinekaan kita.

Lalu, seorang non-Muslim (kafir) tidak perlu berkurban atau berzakat. Karena belum wajib dan tidak akan pernah mencapai semua nilai ibadah ini sampai dia masuk Islam. Dia hanya wajib menahan diri untuk tidak ikut campur urusan rumah tangga Muslimin. Walau urusan itu sedang diperselisihkan orangtua (ulama) kita di atas. Tapi tetangga ikut komen negatif menyudutkan salah satu orangtua kita, itu lancang namanya, dan tidak menghormati privasi tetangga. Inilah Nilai Kebhinekaan kita yang menyatukan  kita dalam satu negara.

UNTUK MEMIMPIN KEBHINEKAAN INI
Jakarta adalah gambaran dari kemajemukan Indonesia. Bila kita ingin negara kita masih jalan, maka urgen pemimpin yang paham kebhinekaan itu. Kecuali bila kita hanya ingin Jakarta menjadi Kota Materalisme tanpa nilai kebhinekaan. Yang tentu perlu ganti Generasi untuk itu. Karena generasi Jakarta harusnya masih memegang teguh Nilai-nilai ke-indonesia-an.

Kecuali kalau memang generasi kita saat ini sudah tidak paham nilai-nilai ini?! Maka Bubarkan saja NKRI.

ISLAM & POLITIK
Politik adalah bagian dari Islam. Di ratusan jilid Kitab itu tercantum ajaran politik Islam. Mendakwahkan cara berpolitik kepada Umat-nya adalah Ibadah & Keyakinan bagi para Dai dan Ulama. Dan ini sah serta dilindungi Undang-undang, bagi setiap pemeluk agama untuk menjalankan Agama-nya masing-masing.

Sama seperti ketika Ulama memfatwakan Haramnya Riba Bank, Haramnya Bir. Menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an. Semua fatwa Ulama itu merugikan Bank, merugikan pengusaha Bir.
Tapi apa ada Bank dan Pengusaha yang LANCANG mengatakan bahwa Ulama membohongi Muslimin Indonesia pake ayat ini itu.

Tidak ada!.. inilah kebhinekaan yang Ulama, Pemilik Bank, Penjual Bir Pahami.

Lantas ketika ada politikus, ketika Karir Politik dia terancam karena Dakwah Ulama (walau ada sedikit beda pendapat yg jadi urusan rumah tangga Islam), Pantaskah dia mengatakan, Para Ulama itu membohongi dan membodohi umatnya pake Al-Maidah ayat 51?!

Kalau memang Rakyat kita sudah tidak acuh lagi dengan hal besar yang menodai dan mencoreng Kebhinekaan kita ini, karena silau materi, maka.. BUBAR SAJA NKRI.?!

Allahu Musta'an.

Kamis, 06 Oktober 2016

Islam adalah Kepercayaan

Bohongkah Al-Maidah Ayat 51???

Apakah surah Al-Maidah Ayat 51 bagi anda adalah hasil pikiran seorang jenius? Atau hasil penelitian indrawi mendalam?

BUKAN.

Al-Maidah ayat 51 dan seluruh Al-Qur'an serta Hadits tak lain hanyalah Kabar Berita yang kita dengar dan dapatkan dari seorang Guru atau Orangtua. Kita tidak melihat Allah atau Rasul mengatakannya. Dan tidak pula ada zaman ini Doktor atau Professer Muslim yang bisa meneliti secara indrawi kebenaran bahwa suatu ayat betul disampaikan Jibril. Karena Al-Qur'an dan Hadits itu riwayat alias seperti cerita dongeng.

Lalu apakah Al-Maidah Ayat 51 bohong? Karena berita itu punya kemungkinan benar dan punya kemungkinan bohong.!!!

Lantas Bagaimana saya meyakini bahwa saya Tidak Dibohongi dan Tidak Dibodoh-bodohi oleh Ayat 51 Al-Maidah ini??? Apakah betul itu dari Allah atau dari Rasul?!!

QUR'AN BENAR DARI RASULULLAH SAW.

Pembahasan awal adalah benarkah Rasul pernah mengajarkan Al-Maidah ayat 51 ini?

Pertama,
Jawabannya adalah dengan melihat metode tersampainya Al-Maidah kepada kita. Sampainya dengan status MUTAWATIR.

Apa maksudnya Mutawatir?
Yaitu Kita dapat menemukan Jutaan Penghafal di zaman ini menyaksikan dari hafalan Qur'an 30 Juz guru masing-masing yang pasti juga berjumlah jutaan, yang tidak pernah bertemu dan juga gurunya guru itu dan seterusnya.

Wal hasil Hafalan Qur'an Jutaan yang tidak pernah bertemu,  dan gurunya juga tidak pernah bertemu, dan gurunya guru itu dst juga tidak, SAMA PERSIS. Tanpa perbedaan satu huruf pun.

Maka jelas, Al-Maidah ayat 51 tidak seperti Injil, Taurat, cerita dongeng yang terus mengalami perubahan hingga berbeda versi di tiap2 tempat.

Kedua,
Jawabannya lagi adalah Mukjizat Science yang ada pada Al-Qur'an dan dibuktikan oleh ilmu pengetahuan hari ini.
Hingga tidak mungkin Al-Qur'an adalah hasil cerita manusia-manusia di 4-5 Abad yang lalu.

Oleh karena itu kita Percaya bahwa saya tidak dibohongi oleh orangtua saya atau oleh kyai saya...
Dan ini bukan sekedar percaya. TAPI INI ADALAH IMAN.

QUR'AN BENAR DARI ALLAH.

Ok. Kita percaya Qur'an yang kita baca hari ini, adalah persis seperti Qur'an yang diajarkan Nabi Muhammad saw. 14 Abad lebih lalu.
Al-Maidah ayat 51 hari ini, itulah yang diajarkan Nabi Muhammad dulu. Persis hingga ke huruf-hurufnya dan suara bacaannya.

Tapi, Bagaimana saya percaya dan beriman bahwa yang diajarkan Nabi Muhammad adalah benar dari Allah swt???

Pertama, adalah Fitrah.

Kedua, adalah Akal yang menemukan Mukjizat Al-Qur'an pada Science hari ini, Peradaban Ilahiah yang sempurna, Kabar Al-Qur'an akan masa lalu dan mendatang yang sudah terbukti.

Ketiga, adalah Kemutawatiran Al-Qur'an yang logika juga pasti akan tunduk dengan kenyataan penjagaan Al-Qur'an hari ini.

ALLAH , RASUL-NYA DAN KITAB-NYA TIDAK MUNGKIN BOHONG DENGAN SATU HURUF PUN.

Inilah Konsekwensi Iman kepada Allah swt, Iman kepada Kitab-Nya dan Iman kepada Rasul-Nya.

Mengatakan ada satu huruf dalam Al-Qur'an yang bohong membatalkan Kepercayaan alias Keimanan Kepada Allah dan Rasul.

Mengatakan Surah Al-Maidah bohong, SAMA dengan mengatakan Rasul Bohong, SAMA dengan mengatakan Allah Bohong.

Naudzu Billah.

===
Tapi, bila perkataan itu mengandung makna yang hakekatnya adalah

"orang yang menjelaskan Al-Maidah ayat 51 ini bohong dalam penjelasannya"

Bila yang mengatakannya adalah orang kafir yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad  saw, maka itu sebuah KELANCANGAN atau KELUCUAN.
Apa urusan seorang yang mendustakan sebuah ayat lalu ikut campur mengatakan bahwa yang menjelaskannya Bohong.

LALU APA ORANG KAFIR YANG JUJUR DALAM MENJELASKAN AYAT 51 AL-MAIDAH INI???

#sara_teriak_sara

Selasa, 04 Oktober 2016

TAKKAN ZUHUD TANPA FIQIH

وعن محمد بن الحسن الشيباني رحمه الله تعالى لما قيل له: ألا تصنف كتابا في الزهد؟ قال:
"قد صنفت كتاباً في البيوع"

Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, "Syaikhoin" kedua setelah Abu Hanifah dan salah satu "Shohibain" bersama Abu Yusuf dalam Madzhab Hanafi.

Sosok yang disebut oleh Imam Ahmad saat ditanya; "darimana engkau dapat pembahasan detail-detail poin fiqih ini?", "Dari kitab-kitab susunan Muhammad bin Hasan" jawab imam Ahmad.

Sosok ini pernah diminta, untuk menyempatkan menulis selain masalah fiqih. Yang lebih penting menurut sebagian orang. Zuhud misalnya.

"Kenapa g nulis kitab Zuhud juga Syeikh?" Celoteh seorang yang mungkin belum paham kedudukan fiqih :).

Disini sang Syeikhul Madzhab memberi jawaban singkat tapi menunjukkan tingginya kealiman beliau.

"Saya udah nulis Kitab Fiqih Jual Beli (mualamat)"

Sekilas mereka yang tidak mengenal urgensi fiqih, mungkin akan menyahut,

"Apa hubungannya Syeikh :( belajar zuhud dengan belajar fiqih?"

Bukankah fiqih adalah penjelas Halal dan Haram?
Bukankah fiqih adalah penjelas wajib dan Haram? Makruh dan Sunnah?

Maka bukankah bagian terpenting zuhud itu meninggalkan perkara haram dan makruh serta Syubhat? Yang mana itu membahayakan Akhirat seseorang..

Oleh karenanya, Zuhud bukanlah sekedar untuk diceramahkan atau ditangisi tapi Pembagian Waris keluarga, Transaksinya dan Perniagaan tidak dikawal Fiqih, alias tidak peduli mana haram, syubhat dan makruhnya.

Zuhud butuh ilmu. Salah satu yang terbesarnya adalah Ilmu Fiqih.